Senin, 12 Mei 2014

Every one of us can be a patriot






Malam menjadi sahabat baik bagi pejuang gerilya, Mayor Sroedji bersama batalyon Alap-alapnya menggagalkan gerak serdadu Inggris yang akan menuju Sidoarjo.
Pertempuran Surabaya itu benar-benar menghapuskan seluruh keraguan rakyat di pelosok tanah air. Keyakinan untuk membela tanah air sedemikian tinggi.
We didn’t win a battle, but we already win the war
Yap, itulah sekilas cerita yang sedikit kusimpulkan dari (Sang Patriot;80-86)

Sedikit banyak kisah dalam buku ini mengingatkanku pada Sirah Nabawiyah. Kisah Rasulullah dan para sahabat. Bagaimana mereka berperang, mereka berperang hanya jika diserang, hanya jika dijajah, dan ingin diambil wilayahnya. Maka wajib bagi para penduduknyauntukmempertahankan diri. Pergi dari Negara yang berperang karena dijajah adalah sebuah kehinaan, memilih syahid mempertahankan Negara adalah sebuah keharusan(QS Ali Imran : 169).
Dan para pejuang ini memilih jalannya, yaitu syahid

Jujur saja, sebelum membaca buku Patriot. Aku tak pernah tahu mana yang namanya Letkol Sroedji. Tahunya cuma Jendral Soedirman atau Bung Tomo. Namun membaca Novel Sang Patriot ini lembar demi lembar membawaku dalam alur perjuangan mereka, membawaku pada kehisupan zaman dulu dimana seorang ayah sungguh sangat berwibawanya. Ada satu sesi yang kuingat pula. Bahkan ketika Hasan, ayah Rukmini pulang, suara sendalnya dari kejauhan saja sudah membuat seisi rumah dengan cepatnya merapikan apa-apa yang berantakan di dalam rumah, ketika aku sharing dengan teman-temanku. Mereka langsung bernostalgia. Iya ya, bahkan cuma mendehem saja. Kita langsung memperbaiki diri.
Begitu hebatnya sosok ayah ya, dipatuhi namun dihormati dan dicintai.

Belum lagi kisah cinta Rukmini dan Sroedji yang membuat aku turut merasakan debarannya, mengintip sang calon istri. Menabrak penjual kubis adalah hasil kegugupannya ketika mata mereka bertemu pandang. Aahh menurutku itu romantic sekali. Jadi teringat hadit yang dituturkan Rasulullah mengenai mencari jodoh.

Sahabat Muhammad bin Maslamah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Aku meminang seorang wanita, maka aku bersembunyi untuk mengintainya hingga aku dapat melihatnya di sebuah pohon kurmanya.” Maka ada yang bertanya kepada Muhammad, “Apakah engkau melakukan hal seperti ini padahal engkau adalah sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Kata Muhammad, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا أَلْقَى اللهُ فيِ قَلْبِ امْرِئٍ خِطْبَةَ امْرَأَةٍ، فَلاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَيْهَا
Apabila Allah melemparkan di hati seorang lelaki (niat) untuk meminang seorang wanita maka tidak apa-apa baginya melihat wanita tersebut.” (HR. Ibnu Majah no. 1864, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Ibni Majah dan Ash-Shahihah no. 98)

Merekapun melakukan pernikahan atas persetujuan orang tua kedua belah pihak, sebenarnya ini seperti pernikahan yang Islam anjurkan, tidak perlu banyak berduaan untuk saling mengenal, atau menjalin kedekatan selama bertahun-tahun agar cocok. Dengan niat tulus ikhlas insya Allah langgeng, kiranya hal inilah yang banyak menyebabkan orang tua zaman dahulu tidak banyak perceraian, karena mereka melakukannya dengan jalan yang diridhai Allah.
Tapi ada satu yang kurang dalam pernikahan itu, seharusnya Rukmini melihat juga calon suaminya dulu, dan memberikan pendapat apakah mau menerimanya atau tidak.

Lanjut lagi terbuai oleh keteguhan Rukmini dalam hidup bersama dengan suaminya, dalam kekurangan harta, ekonomi, rasa tak aman. Rukmini mampu melewati itu semua, yang paling mengharukan dari semua adalah kekuatannya. Dalam usia kandungan delapan bulan ia sanggup mendaki bukit-bukit itu dari Jember ke Kediri, sebuah jarak yang luar biasa untuk seorang wanita hamil bisa bertahan. Hanya orang luar biasa yang mampu bersikap begitu. Teringat lagi olehku kisah Asma binti Abu Bakar, dalam usia kandungannya 8 bulan juga. Ia memberikan persediaan pangan ayahnya dan Rasulullah yang sedang bersembunyi di Gua Tsur dari kejaran kaum Quraisy. Bayangkan ia harus berjalan dan menggendong perbekalan makanan dipunggungnya mendaki bukit Tsur dengan hamil tuanya, Whoaahhh….

Sadisme penjajah yang membunuh Lurah Titiwardoyo(Sang Patriot:98) ditampilkan tanpa hati. Lurah Titiwardoyo diinjak, dipukul, ditembak dikepala. Disaksikan oleh istri tercinta, menurutmu, bagaimana perasaannya kala itu?, tak berapa lama istrinya menyusul kematian suaminya.
Teringat Hamzah paman nabi dipanah oleh Wajsyi, lalu dimakan jantungnya oleh Hindun. Sampai akhir hayatnya Rasulullah tak bisa melupakan peristiwa itu, hatinya terluka. Bahkan ketika Wajsyi sudah memeluk Islam, rasulullah tak mampu utnuk menatap wajahnya karena selalu teringat akan pamannya.

Kelaparan yang membuat rombongan brigade Damarwulan hanya mampu memakan parutan kelapa, dedaunan, ketela pohon, dan akar-akaran yang belum diketahui juga apakah beracun atau tidak. Mereka yakinkan dalam hati untuk bisa mengganjal perut mereka(sang Patriot;192).
Teringat lagi kaum muslim ketika diasingkan, bahkan Fatimah putri Rasulullah memakan kayu. Ahh menyedihkan rasanya.

“Mengapa kau tak menepaati janjimu pak…Bukankah kau sudah janji, akan pulang selamat demi aku..demi anak-anak..” membaca ini membuatku seperti bisa merasakan apa yang Rukmini rasakan.Kehilangan orang yang dicintai, yang kita tunggu setiap harinya di pintu rumah. Bagaimana jika ini terjadi padamu? Kuatkah dirimu? 

Ooohh, betapa hatiku turut terluka. Pahlawan ini telah tiada, Pahlawan Sroedji sudah memberikan janji terbaiknya untuk kebanggan keluarga, Negara dan untuk Allah.
Halaman demi halaman kubuka dan kubaca, berusaha untuk tetap focus pada cerita, karena jujur saja, begitu banyak kosa kata yang tidak aku  mengerti, tidak diterjemahkan langsung disana. Enaknya kalau ada kata asing. Di footnotenya ada artinya gitu J
Terkadang aku terbawa pada situasi yang aku bisa mengikuti alurnya bahkan hampir terhanyut didalamnya, namun ada bagian-bagian cerita  yang tiba-tiba muncul. Sampai bingung ini cerita tadinya dari mana mau kemana.

Penulisnya yang tengah yaa. aku yang manis berkacamata itu
Ala kulli hal . Irma Desvita, penulis  Menggambarkan sosok kakek dan neneknya dengan penuh kecintaan, terlihat ketulusan dalam ceritanya. Kisah yang sangat inspiratif dan entah kenapa, tiba-tiba seperti terbayang wajah Rasulullah menemani Sroedji disana, dengan senyumannya yang khas berkata. “Lihatlah aku disini bersama manusia termulia”.
Melihat sosok Irma Desvita benar-benar penjelmaan Rukmini. Sepertinya segala kisah tentang neneknya yang diceritakan oleh Pudji Rejeki sang ibu. Mengikat baik di kepalanya. Ia meneruskan cita-cita Rukmini menjadi seorang ahli hokum. Kegigihannya menyelesaikan novel ini, dengan berbagai riset, cari-cari sumber bahkan sampai menemukan scan tanda tangan kakeknya yang bahkan museum nasional saja tidak punya seingat saya. Keuletannya menekan perasan emosinya yang bercampur aduk mungkin ketika teringat kehidupan moyangnya. Sungguh membuahkan hasil. 

Jadilah malu untuk mudah mengeluh
Well, Saya Reni Sundari one of the reader of this book said
Buku ini layak untuk anda baca. Sang Patriot Etos kepahlawanan









Judul : Sang Patriot, Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis: Irma Devita
Penerbit: Inti Dinamika Publisher
Tahun Terbit: 2014 (Februari)
Tebal: 268 halaman
ISBN: 978-602-14969-0-9
Website penulis :www.irmadevita.com








2 komentar: