Rabu, 21 Mei 2014

Ikhlas itu... Just do it, and you will know



Kehidupan yang kujalani sampai usiaku sekarang, banyak memberikan pelajaran. Bahkan pastinya, itu akan terus berlangsung sampai ku mati.

Senang, Ceria, Sedih, Luka, Tawa semua mengalir...  yang pasti 

ketika kita terluka adalah mendoakan, ketika kita takut kehilangan adalah mengikhlaskan, ketika kita takut masalah adalah menghadapi

Hidup tak pernah terlepas dari itu 

ketika tahu hakikat hidup yang sebenarnya (beribadah untuk Allah), maka rasa sakit itu terasa tapi tak menjadi terlalu menyakitkan lagi.

Ketika tahu bahwa kita hidup hanya di antara dua titik
Maka kita hanya perlu mengisi garis yang menghubungkan dua titik tersebut dengan hal-hal yang memberikan manfaat bagi orang lain, berbuat baik, dan tentunya memberikan ‘nilai’ pada diri kita, menjadi manusia yang tak malu berhadapan dengan Allah nantinya.

Ketika kita tahu bahwa menikah adalah menyempurnakan setengah agama, maka menjadikan setengahnya lagi tiket masuk ke surga, adalah usaha, kerjasama yang kuat dan penuh kepercayaan antara suami istri tersebut.

Minggu, 04 Mei 2014

Wahai damai..Peganglah Tanganku




Beberapa hari yang lalu, saya sedang terheran-heran melihat seseorang yang dengan keras kepalanya menuntut, menekan, memaksa, menyalahkan orang lain, mengecilkan orang lain, meremehkan , mencerca dan bahkan tidak memberi kesempatan orang lain untuk bicara.Sehingga membuat seisi ruangan terperangah, takjub akan kelakuannya yang membuat kesal hampir seluruh isi ruangan..dan anehnya, ia sama sekali tak merasa telah membuat semua orang tak nyaman. Seperti gunung es meletus, ia meledak tiba-tiba dan serpihannya mencabik orang di sekitarnya. Oh my God, dia seorang ikhwah yang notabene sudah kenyang dengan materi materi tarbiyah. Bagaimana mungkin dia tidak bisa dibuat mengerti akan suatu keadaan atau situasi.

Tiba-tiba ada satu kata terlintas...”Damai”... 

Pasti banyak orang yang merindukan suasana damai, baik di lingkungan keluarga, pergaulan maupun dalam lingkup terbesar, yaitu negara. Tapi seringkali kita menyerahkan terjadinya perdamaian pada itikad baik orang lain, tanpa kita mau memulainya duluan.

Padahal inti dari terciptanya perdamaian itu dimulai dari kemampuan kita berdamai dengan diri sendiri. Artinya? Kita tidak lagi disibukkan oleh pertanyaan-pertanyaan menyangkut diri sendiri. Misalnya tentang saya seperti apa, bagaimana orang memandang saya, dsbnya. Tapi bukan berarti kita cuek atas pendapat orang lain atau tidak peduli pada diri sendiri, melainkan hal-hal itu sudah lama kita proses dan kita temukan jawabannya.

Untuk bisa berdamai dengan diri sendiri memang tak mudah. Harus banyak sisi positif dari diri kita yang dimunculkan dan kita yakini. Sisi negatif dari diri kita harus selalu diupayakan untuk mengubahnya, minimal menguranginya. Butuh kemampuan untuk menerima kenyataan, akan hal yang tidak bisa didapatkannya. 
Seorang anak kecil ketika menginginkan mainan bersikeras mengatakan
 “Pokoknya aku mau itu!, harus beli!”. 
Orang mungkin akan maklum karena ia masih anak-anak, tapi kalau orang dewasa seperti itu, tentu tidak sama.
 
Apakah tokoh pada cerita diawal, termasuk orang yang tidak bisa berdamai dengan diri sendiri?

Berikut ciri-ciri orang yang tidak bisa berdamai dengan