“Saya punya pertanyaan pada
kalian. Pertanyaan ini saya ajukan pada siswa saya di kelas 2 SD dan saya menganggap
pertanyaan ini adalah pertanyaan tingkat tinggi yang harus dijawab oleh siswa
kelas 2 SD”.
"Apaa bu?" Serentak mereka bertanya
"Oke. Listen carefully! Irsyad
adalah anak orang kaya, ia suka sekali berinfak, ia suka sekali bersedekah dan
setiap bulan ramadhan ia tak pernah lupa menyantuni anak yatim. Banyak sekali
perbuatan yang ia lakukan untuk membantu orang miskin, tapi Irsyad tidak suka berteman
dengan orang miskin, ia lebih senang berteman dengan orang kaya, orang yang ia
anggap selevel dengannya. Menurutmu bagaimana sikap Irsyad!"
"Yaa ibu, itu sih jawabannya jelas, ya gak bener
lah sikapnya si Irsyad"
"Bagian mana yang gak benar?" Balasku
"Yang tidak mau berteman dengan
orang miskinlah"
"Menurutmu begitu, yang benar?
Ucapku sambil tersenyum dan mengernyitkan dahi, tanda meragukan.
Mereka memandangiku, sontak salah
satu dari mereka menjawab “ Sebenarnya sih, aku gak suka bu berteman dengan
mereka,
Gak level, yang lain menambahi,
iya bu mereka jorok , dekil, kotor, belagu lagi.
Belum lagi yang dandanannya nora,
iuuhh...
Banyak lalat lagi di sekitarnya.
Jorok, main-main tanah, corat-coret tembok. Haaaaaa banyak deh bu
Belum nih bu, kalau ke mall pake
sendal jepit, merk gak jelas.
Itu sekilas percakapanku dengan
murid remaja, tidak mengagetkan menurutku. Karena fenomena itu begitu terlihat
jelas di sini, di Nurul Fikri. Baik kumpulan siswa ataupun orang tua murid
Yang menjadi titik tekan dan
perhatian saya disini adalah, sebenarnya apa yang dikatakan para siswa itu
banyak benarnya, tapi sikap yang mereka tunjukkan itu yang perlu dikritisi.
Pada kenyataannya mereka hanya
melihat, dan pendapat yang mereka lontarkan hampir seluruhnya tampilan fisik,
mereka belum pernah berada di tengah masyarakat, belum pernah merasakan berada
bersama mereka. Walaupun tidak saya pungkiri, banyak juga hal tak menyenangkan
dalam pergaulan di masyarakat.
Ada baiknya kita guru, sesekali
mengajarkan budi pekerti dengan menerjunkan mereka ke masyarakat. Turun ke
tempat yang berbeda dengan dunianya. Misalnya masyarakat daerah kumuh, atau
setidaknya yang dekat Nurul Fikri, kawasan sekitar masyarakat setempat.
Bekerjasama dengan RT/RW mencari tahu jadwal kerja bakti mereka. Bekerjasama
dengan RT setempat untuk menempatkan siswa dalam kerja masyarakat, tapi
berkelompok bukan segambreng siswa datang. Karena jumlah sedikit lebih mengena
daripada pembelajaran massal. tentunya dengan jadwal yang sudah di atur tiap
minggunya. Para siswi bersama ibu-ibu setempat (PKK) bertugas memasak ataupun
menyediakan minuman untuk para putra , putra bersama para bapak melakukan
pekerjaan fisik membersihkan lingkungan, cukup 10 orang dalam 1 ronde kerja.
Aahh impian banget, ingin sekali memasukkan mereka dalam kehidupan bersama,
bagaimana rasanya berbagi, bagaimana rasanya bertetangga, bagaimana bersikap di
masyarakat, saling menyayangi, saling menjaga antara satu dengan lainnya.
Keterikatan yang saya ingin sekali mereka dapatkan yaitu keterikatan kasih
saling perhatian antar sesama. Andai bisa terjadi.
Atau melakukan kerjasama dengan
PKPU, kita mengirimkan relawan (siswa) tentunya didampingi guru, untuk membantu
PKPU bekerja ketika pemberian bantuan khususnya di daerah ibukota. Kalau
terjadi di luar kota jadikan saja study tour, siswa ongkos sendiri untuk pergi
kesana daripada ke luar negeri jalan-jalan, study tour ke daerah bencana lebih
bermakna, pulang dapat ilmu dan pahala, serta kepekaan hati.
Akan besar kemungkinan siswa-siswi
mengeluh, pada awalnya. Tapi kontinuitas menolong, berbagi dan terjun untuk
membantu akan menempel erat pada jiwa mereka kelak.
Akan besar pula kemungkinan
mereka menjadi orang yang pintar baik pikiran maupun akhlak
Keterlenaan harta dan penuhnya berbagai
materi pelajaran bisa membuat hati menjadi tumpul. Berbagai keluhan guru
mengenai perilaku remaja, menjadi perhatian. Bersikap serius terhadap akhlak
seharusnya menjadi kewajiban. Menjadi salah satu orang yang menonton dan
mengomentari membuatku tidak nyaman juga. Ingin berbuat, tapi berbuat apa?
Menegur secara individual sudah, membentuk kelompok-kelompok mentoring...
mereka mendengarkan nasehat, duduk rapi bersikap sopan, bagiku itu tidak cukup.
Sekolah plizzz, jangan kebanyakan materi. ingin banget, bisa.
Ketika saya menggrentes. “Saya
ingin anak-anak ini menyadari perilaku mereka yang kurang santun dan menghargai
orang lain, kurang peka pada lingkungan sekitar, kita dulu sama guru gak pernah
begini, tapi kenapa kita kayanya di sepele in ya?”
Ada yang mengatakan kepadaku, “Yaa,
anak orang kaya. Lain lah, merasa sudah membayar kita mahal kali?”
Apa begitu? Haahh mentok nih,
pengennya gak mikirin bodo amat, tapi kepikiran terus. Gemezzz, lihat para
siswi teriak-teriak tidak karuan,lihat siswa menyatakan cinta bak romeo kepada
seorang siswi di belakang hall berduaan, lihat buang sampah seenaknya, lihat...
Stop..stop...mengeluh gak akan
ada habisnya, jalan keluarnya karena kamu gak belok, kamu gak mencoba mencari
alternatif lain,karena kamu terlalu sibuk BENGONG,dan cuma memberikan daftar
keluhan
Yaa..itu karena memang aku gak
bisa berbuat apa-apa
Ada ko’ cuma kamu gak mencoba
menemukannya aja” kalimat terakhirnya
membuatku merenung.
Benar juga... setelah beberapa
hari. Saya menemukan ide yaitu untuk memberikan usulnya disini, di mediakita,
medianya para civitas NF (semoga).
Berharap bagian dari kurikulum
ataupun para guru termasuk saya bisa banyak mewujudkan hal-hal seperti ini
lebih banyak lagi.Berharap dari berjibakunya kita mengejar ketuntasan nilai kita
juga mengejar ketuntasan akhlak,(sampai sekarang saya pribadi juga belum
tuntas-tuntasJ),
setidaknya perbaikan, peningkatan akhlak.
Jadi Standar Kompetensi
menampilkan perilaku terpuji tidak lagi menjadi sebuah soal yang tertera di
atas kertas, melainkan menjadi soal yang terjadi di masyarakat, dan jawabannya
berupa kerja nyata siswa dalam merealisasikannya. Waalahu ‘alam bishowab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar