Jumat, 09 November 2012

terjun langsung



          “Saya punya pertanyaan pada kalian. Pertanyaan ini saya ajukan pada siswa saya di kelas 2 SD dan saya menganggap pertanyaan ini adalah pertanyaan tingkat tinggi yang harus dijawab oleh siswa kelas 2 SD”. 
           "Apaa bu?" Serentak mereka bertanya
        "Oke. Listen carefully! Irsyad adalah anak orang kaya, ia suka sekali berinfak, ia suka sekali bersedekah dan setiap bulan ramadhan ia tak pernah lupa menyantuni anak yatim. Banyak sekali perbuatan yang ia lakukan untuk membantu orang miskin, tapi Irsyad tidak suka berteman dengan orang miskin, ia lebih senang berteman dengan orang kaya, orang yang ia anggap selevel dengannya. Menurutmu bagaimana sikap Irsyad!"
        "Yaa  ibu, itu sih jawabannya jelas, ya gak bener lah sikapnya si Irsyad"
         "Bagian mana yang gak benar?" Balasku
         "Yang tidak mau berteman dengan orang miskinlah"
         "Menurutmu begitu, yang benar? Ucapku sambil tersenyum dan mengernyitkan dahi, tanda meragukan.
Mereka memandangiku, sontak salah satu dari mereka menjawab “ Sebenarnya sih, aku gak suka bu berteman dengan mereka,
Gak level, yang lain menambahi, iya bu mereka jorok , dekil, kotor, belagu lagi.
Belum lagi yang dandanannya nora, iuuhh...
Rambutnya ituloh. ST 12 banget...

 
Banyak lalat lagi di sekitarnya. Jorok, main-main tanah, corat-coret tembok. Haaaaaa banyak deh bu
Belum nih bu, kalau ke mall pake sendal jepit, merk gak jelas.
Itu sekilas percakapanku dengan murid remaja, tidak mengagetkan menurutku. Karena fenomena itu begitu terlihat jelas di sini, di Nurul Fikri. Baik kumpulan siswa ataupun orang tua murid
Yang menjadi titik tekan dan perhatian saya disini adalah, sebenarnya apa yang dikatakan para siswa itu banyak benarnya, tapi sikap yang mereka tunjukkan itu yang perlu dikritisi.
Pada kenyataannya mereka hanya melihat, dan pendapat yang mereka lontarkan hampir seluruhnya tampilan fisik, mereka belum pernah berada di tengah masyarakat, belum pernah merasakan berada bersama mereka. Walaupun tidak saya pungkiri, banyak juga hal tak menyenangkan dalam pergaulan di masyarakat.
Ada baiknya kita guru, sesekali mengajarkan budi pekerti dengan menerjunkan mereka ke masyarakat. Turun ke tempat yang berbeda dengan dunianya. Misalnya masyarakat daerah kumuh, atau setidaknya yang dekat Nurul Fikri, kawasan sekitar masyarakat setempat. Bekerjasama dengan RT/RW mencari tahu jadwal kerja bakti mereka. Bekerjasama dengan RT setempat untuk menempatkan siswa dalam kerja masyarakat, tapi berkelompok bukan segambreng siswa datang. Karena jumlah sedikit lebih mengena daripada pembelajaran massal. tentunya dengan jadwal yang sudah di atur tiap minggunya. Para siswi bersama ibu-ibu setempat (PKK) bertugas memasak ataupun menyediakan minuman untuk para putra , putra bersama para bapak melakukan pekerjaan fisik membersihkan lingkungan, cukup 10 orang dalam 1 ronde kerja. Aahh impian banget, ingin sekali memasukkan mereka dalam kehidupan bersama, bagaimana rasanya berbagi, bagaimana rasanya bertetangga, bagaimana bersikap di masyarakat, saling menyayangi, saling menjaga antara satu dengan lainnya. Keterikatan yang saya ingin sekali mereka dapatkan yaitu keterikatan kasih saling perhatian antar sesama. Andai bisa terjadi.
Atau melakukan kerjasama dengan PKPU, kita mengirimkan relawan (siswa) tentunya didampingi guru, untuk membantu PKPU bekerja ketika pemberian bantuan khususnya di daerah ibukota. Kalau terjadi di luar kota jadikan saja study tour, siswa ongkos sendiri untuk pergi kesana daripada ke luar negeri jalan-jalan, study tour ke daerah bencana lebih bermakna, pulang dapat ilmu dan pahala, serta kepekaan hati.
Akan besar kemungkinan siswa-siswi mengeluh, pada awalnya. Tapi kontinuitas menolong, berbagi dan terjun untuk membantu akan menempel erat pada jiwa mereka kelak.
Akan besar pula kemungkinan mereka menjadi orang yang pintar baik pikiran maupun akhlak
Keterlenaan harta dan penuhnya berbagai materi pelajaran bisa membuat hati menjadi tumpul. Berbagai keluhan guru mengenai perilaku remaja, menjadi perhatian. Bersikap serius terhadap akhlak seharusnya menjadi kewajiban. Menjadi salah satu orang yang menonton dan mengomentari membuatku tidak nyaman juga. Ingin berbuat, tapi berbuat apa? Menegur secara individual sudah, membentuk kelompok-kelompok mentoring... mereka mendengarkan nasehat, duduk rapi bersikap sopan, bagiku itu tidak cukup. Sekolah plizzz, jangan kebanyakan materi. ingin banget, bisa.
Ketika saya menggrentes. “Saya ingin anak-anak ini menyadari perilaku mereka yang kurang santun dan menghargai orang lain, kurang peka pada lingkungan sekitar, kita dulu sama guru gak pernah begini, tapi kenapa kita kayanya di sepele in ya?”
Ada yang mengatakan kepadaku, “Yaa, anak orang kaya. Lain lah, merasa sudah membayar kita mahal kali?”
Apa begitu? Haahh mentok nih, pengennya gak mikirin bodo amat, tapi kepikiran terus. Gemezzz, lihat para siswi teriak-teriak tidak karuan,lihat siswa menyatakan cinta bak romeo kepada seorang siswi di belakang hall berduaan, lihat buang sampah seenaknya, lihat...
Stop..stop...mengeluh gak akan ada habisnya, jalan keluarnya karena kamu gak belok, kamu gak mencoba mencari alternatif lain,karena kamu terlalu sibuk BENGONG,dan cuma memberikan daftar keluhan
Yaa..itu karena memang aku gak bisa berbuat apa-apa
Ada ko’ cuma kamu gak mencoba menemukannya aja”  kalimat terakhirnya membuatku merenung.
Benar juga... setelah beberapa hari. Saya menemukan ide yaitu untuk memberikan usulnya disini, di mediakita, medianya para civitas NF (semoga).
Berharap bagian dari kurikulum ataupun para guru termasuk saya bisa banyak mewujudkan hal-hal seperti ini lebih banyak lagi.Berharap dari berjibakunya kita mengejar ketuntasan nilai kita juga mengejar ketuntasan akhlak,(sampai sekarang saya pribadi juga belum tuntas-tuntasJ), setidaknya perbaikan, peningkatan akhlak.
Jadi Standar Kompetensi menampilkan perilaku terpuji tidak lagi menjadi sebuah soal yang tertera di atas kertas, melainkan menjadi soal yang terjadi di masyarakat, dan jawabannya berupa kerja nyata siswa dalam merealisasikannya. Waalahu ‘alam bishowab





Tidak ada komentar:

Posting Komentar