“Ihh, kantin kita kotor ya,
sampah dimana-mana...gak ada yang ngerti kalimat tong sampah kali ya?”, Ujar
salah satu siswi
“Eh, gimana kalau kita ambilin
aja sampah yang ada, yang dekat kita aja, gak usah yang jauh-jauh” temannya berpendapat
Sontak satu meja
mentertawakannya.
Mereka memberikan komentar
bersahutan, “ Ah sok alim luh”, “ Eh jeng, udah ada petugasnya, ngapain
repot-repot?!”, “ Sana kalau kamu mau, aku sih ogah”. Lalu satu anak
mengomandoi sambil mengarahkan lainnya untuk menunjuk pada salah satu siswi yang
memberikan ide tersebut “1..2..3..” Yaaa”
Siswi itu menjawab “Aku kan cuma
memberikan ide, daripada kalian pada complaint
sampah terus setiap hari!, kedut-kedut kupingku tahu!”
Dan serangkaian kalimat lainnya
ketika saya sedang bersama mereka.
Memang, untuk bergerak dan
menjadi diri sendiri dikalangan remaja itu sulit. Mengapa saya bisa bicara
begini, karena saya juga pernah menjadi remaja, 20 tahun yang lalu. Nge geng,
berkelompok, ngobrolin cowok, ngobrolin orang, mencela orang memang paling enak
kalau dikerjakan rame-rame. Belum di tambah kalimat celaan yang berlomba-lomba
dimunculkan, siapa yang mencela paling parah yang jadi pusat perhatian. Seru habis kalau udah mencela orang.
Untuk remaja, percaya pada diri sendiri,
menjadi diri sendiri agak sulit. Butuh remaja dengan kepribadian kuat yang
berhasil, sisanya gemar untuk menjadi follower.
Saya teringat kisah Columbus① sepulang ia menjelajah samudera dan menemukan
benua baru yang ia sebut Amerika. Banyak orang yang salut padanya, dan banyak
pula yang mencibir. Di antara mereka ada yang mencibir,”kalau sekedar menemukan
daratan yang sudah ada pun saya juga bisa”